Mari singkirkan sejenak cerita keris sebagai benda pusaka yang identik dengan mitos dan tuah, serta hanya digemari segelintir orang tua. Mari kita gali cerita anak-anak muda yang tertarik dan mulai hobi mengoleksi keris.
Hanya, kata Unggul, orang tua dan kakeknya menikmati keris sebatas sisi mistisnya. Sedangkan Unggul lebih tertarik mencari sisi rasional dari keris. Ia pun mencari tahu banyak tentang seluk-beluk keris, mulai sisi historis, antropologis, hingga sosiologisnya.
Unggul juga sempat tinggal bersama Haryono Guritno, kolektor keris dan penulis buku Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar. “Diajari dari awal sampai akhir, seluk-beluknya dari sisi rasional,” ujarnya. “Ternyata keris itu warisan budaya yang sangat hebat.”
Dari sanalah Unggul tergoda memiliki keris. Sampai hari ini terhitung sudah ada delapan keris yang dipunyainya. Di antaranya adalah keris dengan daphur (bentuk atau tipe bilah keris) Jalak Sangu Tumpeng dan Tangguh Mataram Sultan Agung. Keris itu bahkan dijadikan sebagai mahar pernikahannya. “Harga keris yang saya punya sekitar Rp 4-10 juta,” katanya.
Meski telah mengoleksi keris, Unggul tidak menjalani ritual seperti banyak dilakukan para pencinta keris, misalnya memandikan benda pusaka itu saban tanggal tertentu. Bagi dia, hal itu sudah kurang rasional. Untuk penyimpanannya juga tidak diberikan tempat khusus. “Paling-paling saya hanya membersihkan dan memberinya minyak biar enggak rusak,” ujarnya.
Kini, setelah memiliki beberapa keris, Unggul juga tertarik mengulik soal keris, terutama dari sisi industri budaya. Tahun ini, peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini dengan dua temannya bertolak ke Sumenep, Madura, untuk melihat 422 perajin keris. Di sana, perajin yang tergabung dalam sebuah paguyuban itu sudah mengekspor keris hingga ke Eropa.
“Dan begitu saya ke Sumenep, melihat perajin keris, persepsi keris itu irasional, mistik, dan hanya untuk orang tua terbantahkan karena sudah jadi sumber perekonomian mereka, baik yang muda maupun yang tua,” tuturnya.
Menurut Unggul, agar dilirik anak muda, keris yang identik sebagai benda keramat harus dikesampingkan. Yang harus ditekankan adalah aspek keindahan keris dari motif hingga lekukannya. “Awalnya orang melihat dulu indahnya, baru nanti tertarik pengin tahu apa maknanya,” ujar pria yang kini tengah membuat buku tentang keris bersama teman-temannya itu.
Cara lain yang bisa dipakai adalah memasukkan gambar yang digemari anak muda saat ini. Media foto dan kaus bergambar keris juga bisa dipakai untuk mengakrabkan keris di kalangan anak muda. ”Misalnya anak kecil doyan sosok Naruto, nah, simbol itu dimasukkan ke dalam keris biar kesan menyeramkan jadi hilang,” katanya.
Pendapat senada dilontarkan Gilang Tri Subekti, 24 tahun, anak muda yang juga mulai tertarik pada keris. “Kalau ujug-ujug kita dikenalin pertama langsung apa itu pamor, warangka, saya sendiri juga enggak akan tertarik,” ujarnya.
Berbeda dengan Unggul, Gilang awalnya tidak mengetahui apa pun soal keris. Ia hanya tahu keris itu identik dengan mistik dan juga mitos yang mengelilinginya. Di mata dia, dulunya keris juga hanya sebatas benda pusaka yang digemari para orang tua. “Saya orang Jawa, tapi enggak tahu apa-apa soal keris,” katanya.
Namun, sekarang mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu sudah kesengsem pada keris. Meski belum memiliki keris, Gilang punya cara sendiri untuk menikmati keris, yakni melalui medium foto. “Saya suka motret. Bukan hanya keris, tapi melihat perajin ketika membuatnya,” ujarnya.
Unggul dan Gilang hanya sedikit dari anak muda yang tertarik pada keris. Mereka ingin menularkan kecintaan terhadap keris kepada anak muda lainnya. ”Selain menjadikannya hobi, kami mau coba membangun kesadaran teman-teman bahwa keris itu warisan budaya kita yang harus dijaga,” kata Unggul.
Sumber : Tempo
No comments:
Post a Comment